SEKILAS INFO
: - Senin, 13-05-2024
  • 1 Tahun Yang Lalu / Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta. Dan ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh. Anonim
  • 3 Tahun Yang Lalu / “Pendidikan merupakan senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk merubah dunia” (Nelson Mandela)  
Peraih Prestasi : TIM Basket Indonesia

Indonesia Muda (IM) menjadi juara edisi pertama Kobatama dan menjelma sebagai tim terkuat pada tahun-tahun awal munculnya Kobatama. Halim Kediri jadi rival utama.

Peta persaingan berubah usai munculnya ASABA Jakarta. Klub yang kemudian berganti nama menjadi ASPAC Jakarta dan terakhir, Stapac Jakarta, mencuri perhatian.

ASABA menjadi klub basket terbaik pada 1988 dan 1989. Namun, saat itu, klub milik Irawan Haryono tersebut gagal membuat sebuah dinasti.

Pelita Jaya Jakarta sukses merebut gelar juara berturut-turut, masing-masing pada edisi 1990 dan 1991-1992, Tapi setelah itu, ASABA kembali meraih gelar pada 1993.

Sistem Sirkuit dan Pemain Asing

Pada 1994, Persatuan Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) memberlakukan sistem sirkuit di Kobatama. Pola inilah yang akhirnya digunakan sampai sekarang.

Setiap klub menjalankan musim kompetisi dengan berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lain. Hal itu membuat Kobatama makin semarak.

Pada era ini, setiap venue pertandingan Kobatama selalu dipadati penonton. Gengsi makin meningkat saat klub boleh memakai pemain asing pada 1995.

Sayang, karena kondisi ekonomi yang tak menentu usai tumbangnya Orde Baru, penggunaan pemain asing disetop setelah Kobatama 2000.

Adapun pada medio ini, Panasia Indosytec Bandung dan Aspac Jakarta secara bergantian keluar sebagai juara basket nasional.

Panasia Indosytec Bandung menggenggam trofi juara pada 1994, 1997, dan 1998. Sedangkan Aspac merajai 1995 dan 1996.

Pada 1999, muncul Satria Muda Jakarta yang dibeli oleh Erick Thohir dari Dudi Gambiro. Dan, langsung meraih gelar Kobatama pada musim tersebut.

Menariknya, capaian itu didapat Satria Muda Jakarta usai terpuruk pada Kobatama 1998 hingga menempati posisi juru kunci.

Aspac kemudian menjuarai Kobatama 2000 hingga 2002. Namun, Satria Muda jadi kompetitor utama dengan menantang klub tersebut du final 2001 dan 2002.

ERA IBL

Usai berakhirnya era Kobatama, 2002, muncul keinginan kuat dari insan basket Tanah Air untuk membentuk sebuah kompetisi yang lebih mandiri dan profesional.

Lalu, pada 2003, muncul Indonesian Basketball League (IBL). Ini adalah kali pertama pengelolaan kompetisi basket diserahkan ke operator independen.

Aspac menjuarai beberapa edisi IBL. Usai melakukannya pada 2003, klub tersebut kembali meraih trofi pada 2005 setelah tunduk dari Satria Muda pada final 2004.

Setelah 2005, Satria Muda tak terbendung. Mereka mampu menjadi juara pada edisi 2006 hingga 2009 dan Aspac tetap menjadi penantang utama.

Hanya klub reinkarnasi Panasia, Garuda Bandung, yang sanggup mengganggu dualisme Satria Muda dan Aspac.

Memiliki sederet pemain hebat seperti Kelly Purwanto, I Made “Lolik” Sudiadnyata, Denny Sumargo, dan lain-lain, mereka menantang Satria Muda di final, meski akhirnya kalah.

Kompetisi Dikelola Operator Basket SMU

Secara keseluruhan, era IBL berjalan kurang baik hingga gonta-ganti operator dianggap sebagai hal yang lumrah. Kesemarakan kompetisi berkurang pada tahun-tahun terakhir.

Akhirnya, 10 klub peserta mendatangi perusahaan yang biasa menyelenggarakan kompetisi basket antarSMU, PT Deteksi Basket Lintas (DBL) Indonesia.

Klub percaya, DBL Indonesia bisa membangkitkan lagi gairah kompetisi basket Indonesia. Alasannya, mereka mampu menjadikan kompetisi antarsekolah sebagai industri.

DBL Indonesia pun setuju mengambil alih kompetisi. Kemudian, mereka melakukan rebranding dan mengubah nama kompetisi dari IBL jadi NBL Indonesia.

Pencinta basket Indonesia menyebut era NBL Indonesia sebagai masa terindah dalam sejarah kompetisi basket Indonesia.

Animo penonton kembali seperti era Kobatama dan tahun-tahun awal IBL. Klub yang lolos ke final lebih bervariasi, seiring meningkatnya jumlah peserta menjadi 12.

Final antara Satria Muda dan Aspac hanya dua kali terjadi dalam NBL Indonesia, masing-masing pada 2011-2012 dan 2013-2014.

CLS Knights Indonesia dan Pelita Jaya berhasil mengganggu dominasi kedua klub tersebut. CLS menembus final NBL 2011-2012,  sedangkan Pelita Jaya, 2012-2013 dan 2014-2015.

Sayang, label juara tetap diperebutkan Satria Muda dan Aspac. Satria Muda merajai IBL 2010-2011, 2011-2012, dan 2014-2015. Aspac mengangkat trofi dua musim berikutnya.

Dengan begitu, sejak Kobatama 1999 hingga NBL Indonesia 2014-2015 hanya Satria Muda dan Aspac yang mampu keluar menjadi juara.

Catatan tersebut seolah menegaskan rivalitas kedua tim yang disebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah basket nasional.

Julukan El Clasico yang biasa disematkan pada duel Real Madrid versus Barcelona pun melekat pada pertandingan yang mempertemukan Satria Muda dan Aspac.

Kembalinya IBL dan Berakhirnya Dualisme Satria Muda-Aspac

Pada pertengahan kompetisi NBL Indonesia 2015, PT DBL Indonesia memastikan tak memperpanjang kontrak sebagai pengelola liga profesional.

Dengan demikian, berakhir sudah NBL Indonesia yang sangat membekas di benak para pencinta basket Tanah Air.

Akhir 2015, Perbasi mengikat kerja sama dengan operator baru, Starting Five Sports and Entertainment. IBL dikembalikan menjadi nama kompetisi.

Tahun pertama IBL reborn menghasilkan sesuatu yang ditunggu banyak orang, yakni lahirnya juara di luar Satria Muda dan Aspac.

Pada IBL 2016, CLS Knights Surabaya sukses meraih kampiun. Lawan yang mereka hadapi di final juga bukan Satria Muda maupun Aspac, melainkan Pelita Jaya.

Menggunakan sistem best of three, CLS menang dengan skor series 2-1. Gelar tersebut menjadi satu-satunya untuk klub yang bermarkas di Surabaya itu.

Pelita Jaya akhirnya berhasil memutus puasa gelar sejak menjuarai Kobatama 1991-1992. Tim yang saat itu dilatih legenda Panasia, Johanis Winar, mengungguli Satria Muda di final.

Adapun pada 2017-2018 dan 2018-2019, dua penguasa kembali merajai kompetisi basket nasional. Satria Muda membekap Pelita Jaya, 2-1.

Aspac yang mengubah nama menjadi Stapac usai merger dengan Stadium Jakarta, mendominasi IBL 2018-2019.

Salah satu terobosan di era IBL kedua adalah kembali dibolehkannya pemain asing. Hal ini membuat persaingan jadi lebih merata.

Klub-klub yang sebelumnya berstatus medioker seperti NSH Jakarta dan Pacific Caesar Surabaya, mampu naik kelas.

Keduanya melaju hingga empat besar IBL  2018-2019. Jangan lupakan juga Hangtuah yang akhirnya sanggup menembus semifinal di IBL 2017-2018.

Sayang, era kedua IBL diwarnai problem. Salah satunya adalah krisis finansial yang menimpa Starting Five.

Kondisi tersebut membuat pengelolaan liga berpindah ke tangan PT Bola Basket Indonesia (PT BBI), terhitung mulai IBL 2017.

Selama dipegang PT BBI, ada klub yang mundur dari kompetisi, setiap tahun. Usai IBL 2016, Stadium Jakarta mundur dan memilih merger dengan Aspac.

Ketidaksepakatan soal subsidi klub menjadi akar masalahnya. Lalu,menjelang IBL 2017-2018, giliran CLS yang menyudahi petualangannya.

Keengganan mereka mengubah bentuk klub ,dari yayasan menjadi Perseroan Terbatas (PT), membuat CLS menyebrang ke ASEAN Basketball League (ABL).

Yang terbaru adalah mundurnya Stapac jelang IBL 2020. Alasannya, pelatnas jangka panjang timnas basket Indonesia untuk Piala Dunia FIBA 2023.

Ada empat pemain Stapac: Kaleb Ramot, Abraham Damar Grahita, Vincent Kosasih, dan Mei Joni, yang dipanggil.

Imbasnya, Stapac kekurangan pemain karena beberapa lainnya mengalami cedera. Ada pula yang pensiun dari basket usai menjuarai IBL 2018-2019.

Jelang 2020, Bogor Siliwangi juga didiskualifikasi dari kompetisi akibat tak mampu membayar gaji pemain selama lima bulan.

Untuk menggantikan Bogor Siliwangi, IBL menemukan peserta baru, yakni Louvre Surabaya.

 

Pengumuman

Pengumuman Daftar Siswa Baru Tahun 2021/2023